“Hampir saja sholat dan cita citaku tergadaikan akibat nafsu ingin pulang,”

Begitulah kira kira kalimat yang keluar dari mulut  seorang santri SPIDI, Marsya.

Jarum jam menunjukkan pukul 11.20 WITA. Waktunya untuk istirahat kedua bagi para siswi Spidi. Sebagian siswi biasanya memanfaatkan waktu untuk qailulah (tidur menjelang dzuhur mencontoh sunnah Nabi), sebagian lainnya memilih berbelanja di Kantin.

Kami telah membuat janji dengan Marsya Choisah Tanasa, siswi kelas VIII Sains untuk mengobrol di Bakso Santri sembari mencicipi mie ayam dan es teler Sadiq.

Saat kami tiba, warung Bakso Santri Spidi sudah padat pelanggan. Meja-meja hampir penuh terisi pembeli yang kebanyakan adalah para siswi Spidi berseragam paduan kerudung segitiga berwarna merah jambu polos, dengan baju panjang dan rok kotak-kotak berwarna merah jambu bergaris hitam. Kecuali satu meja yang diisi oleh satu keluarga dari luar kampus.

Untungnya masih ada meja kosong. Kami memesan menu mie ayam, sementara Marsya memilih menu es teler. Sembari menunggu pesanan, kami berbincang.

Siswi berkaca mata di depan kami ini sudah berada setahun setengah di Spidi. Ia memilih jurusan Sains. Satu dari empat jurusan yang tersedia di Spidi, yakni jurusan Tahfidz, Tarbiyah, Bahasa, dan Sains sendiri. 

“Saya ingin menjadi dokter. Tentu jurusan sains akan membantu saya mewujudkan cita-citaku,” jawab gadis kelahiran Banggai Kepulauan ini ketika ditanya alasan memilih jurusan Sains.

Ia mengisahkan cerita awal masuk Spidi. Sebenarnya oleh orang tuanya, ia diberi pilihan dua sekolah. Spidi dan satu lagi sebuah sekolah swasta terkenal di Makassar. Namun pilihannya jatuh pada Spidi setelah melakukan kunjungan pada keduanya.

“Tak sulit untuk memilih. Lingkungan yang bersih, suasana yang asri, dan banyak pepohonan hijau yang rindang membuatku sangat terkesan pada Spidi. Apalagi ada fasilitas kolam renangnya. Saya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama,” ujar anak kedua dari tiga bersaudara ini.

Menurut gadis remaja pengagum Ali bin Abi Thalib ini, harapan orang tuanya dengan memasukkannya ke Spidi tak begitu muluk-muluk.

“Orang tuaku hanya ingin aku bisa menjaga shalatku dan bisa selalu mendoakan keduanya,” ujarnya dengan suara pelan.

Putri dari bapak Salim J. Tanasa, wakil bupati kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah ini mengungkapkan hal terfavorit baginya selama belajar di Spidi. Yakni pembelajaran di Spidi yang terintegrasi dengan teknologi internet menggunakan Chromebook. Karena itu membuat proses pembelajaran di kelas menjadi sangat menyenangkan.

Choi, begitu Marsya biasa dipanggil di asrama, mengakui pembelajaran menggunakan media Chromebook belum tentu ia bisa temukan di sekolah lain. Ini adalah pengalaman belajar paling mengesankan baginya.

Saat ditanya program apa yang paling menantang buatnya. Ia menjawab program Tilawa (Tidur Lebih Awal). Di mana ia dan teman-temanya tidur lebih awal dan harus bangun jam dua dini hari. Untuk melakukan shalat lail, menghafal, dan aktifitas lainnya. Namun disadarinya program ini sangat baik bagi kesehatan jiwa dan raganya.

Namun dalam belajar berasrama seperti ini, di mana sangat jarang melihat dunia luar, meski dengan fasilitas dan pelayanan yang istimewa, siapa pun pasti akan dilanda kejenuhan. Ada titik di mana kebosanan sampai pada puncaknya. Terjadi pada siapa pun, termasuk pada Marsya.

Ia menceritakan bahwa suatu hari sepulang dari Back Home Day (liburan pulang kampung) dirinya bertekad untuk pindah sekolah. Ayahnya sudah meminta surat pindah. Namun belum diberikan oleh pihak Spidi.

“Ayahku datang dari Banggai ingin ke Jakarta. Transit di Makassar. Jadi beliau mampir di Spidi untuk mengurus kepindahanku. Hari itu saya sudah bersiap untuk keluar. Namun pihak sekolah belum memberikan surat pindah, sementara ayahku tak bisa berlama-lama di Spidi. Pesawatnya ke Jakarta sore hari, saat tahu ayah sudah pergi tanpa berhasil membawaku, saya menangis sejadi-jadinya,” ceritanya panjang.

“Saya sempat ngambek, tak mau keluar dari kamar selama dua Minggu,” tambahnya lagi sambil menyeruput es telernya.

“Saya makan makanan pesanan dari luar, pakai aplikasi jasa antar,” jawab gadis penyuka warna pink ini saat ditanya makan di mana.

Namun pada akhirnya ia mensyukuri takdirnya tak jadi pindah. Sebab ia menyadari, di sini ia bisa punya banyak waktu dan momen untuk mendoakan kedua orang tuanya seperti harapan keduanya kepadanya, khususnya dalam sujud shalat lailnya. Ia bisa menjaga shalatnya. Ia juga bisa menjaga pergaulannya. Sebab di tempat lain, ia tak bisa menjamin hal tersebut bisa ia lakukan.

“Saya bersyukur, Allah masih menakdirkan saya untuk terus belajar di sini. Artinya saya diberikan peluang untuk terus mendoakan orang tuaku, utamanya ayahku agar bisa amanah dalam memimpin daerahnya,” katanya dengan nada lirih.

Ia tak lupa berterima kasih pada ummi-ummi (pembina asrama) yang telah menasihatinya hingga bisa menerima keputusan untuk terus belajar di Spidi. Para ummi lah yang menghiburnya selama dua Minggu kesedihannya itu. Baginya para ummi tersebut adalah pengganti ibunya di asrama. 

Satu lagi hal yang ia syukuri, yakni perhatian para guru yang selalu datang menjenguknya di asrama di masa-masa sulitnya.

Kini ia sudah merasa menikmati lagi masa-masanya di Pesantren.

Memang menghadapi anak-anak yang sedang mengalami masa futur (bosan; malas; tak bersemangat) butuh keterlibatan semua unsur khususnya pihak asrama. Perhatian dan kepedulian pihak sekolah yang ekstra adalah kebutuhan mereka yang paling utama. Hal itu telah dilakukan dan dimaksimalkan oleh pihak Spidi.

Bagi siapa pun itu, belajar di pesantren berasrama memang terkadang terasa berat. Namun jika sanggup bertahan, kebahagiaan ketika berhasil tamat di pesantren akan sangat luar biasa. 

Ibaratnya orang yang sedang berpuasa, di awal terasa ringan, di tengah-tengahlah yang membutuhkan perjuangan ekstra. Namun ketika berbuka, di situlah keberhasilan bertahan terasa sangat nikmat.

Pesantren tak memberikan jaminan kepastian akan masa depan. Namun pesantren memberikan lebih banyak modal akidah, ibadah, dan akhlak sebagai bekal yang menunjang masa depan yang cerah, tak hanya di dunia, namun juga akhirat.

Makanan kami sudah habis. Waktu dzuhur pun telah tiba. Waktu jua harus memisahkan kami. Akhirnya kami menutup obrolan. Teriring harapan terbesarnya agar Spidi, pesantren tempatnya menimba ilmu cepat menjadi pesantren terbaik se-Indonesia khususnya dalam pelayanan dan program pendidikan.

Penulis: Mudzakkir Abidin