Oleh: Nur Hikmah

Assalamu’alaikum teman-teman…

Apa kabar siang hari ini? Semoga sehat selalu ya …
Hari ini, admin akan berbagi sebuah cerita dari siswi lanjutan SPIDI, (SMP IT SPIDI – SMA IT SPIDI)

Langsung saja, mari kita simak yuk!

=====

Kenalkan namaku Nur Hikmah. Asal Mamuju, Sulawesi Barat. Awal kenal SPIDI, mama memutarkan video-video yang beliu dapat dari Youtube tentang SPIDI.

Yup, sampai akhirnya saya tertarik. Bukan karena pejarannya, kelas yang ber-AC, ataupun fasilitas yang lainnya. Tapi saya tertarik karena air mancurnya. Hehehe, iya, tahu ini katro’.

Awal masuk SPIDI, jelas sedih karena pisah orangtua. Jauh dari orangtua, jadwalnya padat, dan semuanya serba aturan. Tapi bukan berarti hidup saya di SPIDI penuh kesedihan. Tenang! Ini masih wal dari segalanya atau yang lebih tepatnya “Baru Beradaptasi”.

Setelah satu minggu dan melewati hari-hari MOPD, saya sadar ternyata hidup berpesantren itu menyenangkan. Kenapa? Mungkin karena teman-temannya. Di sini kami saling menguatkan, bukan menjatuhkan.

Reguler or Tahfidz?

Kelas VII semester satu saya memilih reguler. Yangs etiap harinya hanya belajar pelajaran umum dan pelajaran agama. Intinya, jadi anak reguler itu kerjanya belajar, belajar, dan belajar. Menurut saya, jadi anak reguler itu lebih mudah daripada anak tahfidz.

Lah, kenapa? Karena anak Tahfidz kerjanya adalah menghafal, menghafal, dan menghafal. Kedengarannya meang mudah, tapi belum lagi lagi kalau datang rasa malas. Pokoknya banyak cobaan deh. Menghafal akan terasa mudah kalau orang otu punya niat dari awal dan bersungguh-sungguh dalam menghafal.

Kelas VII semseter dua, saya pindah ke Tahfidzh karena keinginan orangtua saya. Dan akhirnya saya menjadi anak Tahfidz selama tiga semester. Lebih tepatnya sampai kelas VIII saya selesai. Dan itu rasanya membosankan dan melelahkan untuk saya, karena dari awal memang tidak ada niat masuk Tahfidz. Jadi saya menghafal dengan santai dan sesuai mood saja.

Yaah, hasilnya menegcewakan. Saat semua teman saya khatam, saya masih di Juz 17. Waktu itu, kesempatan saya di kelas Tahfidzul Quran selesai, sebab kami yang kelas IX difokuskan untuk persiapan UN.

Ternyata benar, “PENYESALAN BERADA DI AKHIR”.

Kini saya kembali melanjutkan studi di SPIDI. Ini atas keinginan sendiri dan dorongan dari orangtua. Di SMA ini, saya mengulang hafalan saya dari Juz 1. Yup, ibarat bayi yang baru lahir.

Saya sudah berniat. Bertekad. Dan saya mau bersungguh-sungguh untuk menyelesaikan setoran hafalan Al-Quran 30 Juz. Di sinilah perjuangan saya dimulai.

Mohon doanya!

“Experience is the best teacher”.

KAKIMU BUKAN AKAR, MELANGKAHLAH!